Sebuah Perjalanan Libur Lebaran, dari yang Asyik Sampai Bikin Panik
Sabtu, 22 Mei
2021. Waktu yang telah kutunggu-tunggu. Karena hari itu terjadwal waktu untuk
rekreasi/ rihlah bersama keluarga besar Bani Chusni. Rihlah yang biasa dilakukan
setahun sekali, tepatnya pada bulan Syawal. Di mana saudara-saudara banyak yang
luang, dan khususnya yang masih menempuh pendidikan di pondok pesantren sedang
pulang.
Namun Syawal
tahun lalu kegiatan ini vakum sih. Yah, u know, something datang melanda dunia,
termasuk negara tercinta Indonesia. It's named 'covid'. Jangankan untuk pergi
berlibur, silaturrahmi ke saudara saja tahun lalu perlu dipertimbangkan dulu.
Dan kini,
alhamdulillah keadaan mulai pulih. Meski belum sepenuhnya bisa dikatakan pergi
bahkan hilang si 'covid' ini. Setidaknya rasa kekhawatiran akannya mulai bisa
disikapi dengan antisipasi, tidak sekaget dan se-waswas tahun lalu saat baru
mengenalnya. Haha. (Eits... Ini murni opini pribadi ya).
Mudik
dilarang, tempat wisata dibuka. Begitu kata orang-orang. Maka dengan rencana yang
tidak sekompleks dahulu kala, agenda yang baru disepakati 2 minggu sebelumnya
itu pun dijalani. Dipilihlah tujuan yang terjangkau waktu, tenaga, serta biaya,
yakni ke Pantai Karanggongso Trenggalek dan Makam Syekh Ihsan Jampes Kediri.
Sekitar pukul
7 pagi rombongan dari Mojokerto berangkat mengendarai bus Djoko Kendil. Sesuai
jarak tempuhnya, tujuan pertama dipilih yang paling dekat dahulu yakni makam
Syekh Ihsan di daerah Jampes Kediri. Fyi, beliau termasuk salah satu ulama
berpengaruh dalam penyebaran Islam dan juga pengarang kitab yang salah satunya
berjudul Siraj Al-Thalibin.
Setelah kurang lebih 1
jam berada di sana, rombongan kembali melanjutkan perjalanan ke Trenggalek. Di
tengah perjalanan tiba-tiba salah satu saudariku mendapatkan info dari
orang (teman kontak whatsapp-nya) yang ada di daerah pantai Karanggongso, dan kemudian diforward di grup keluarga.
"Semua pantai di daerah Trenggalek ditutup sejak 3 hari lalu, ning."
Dieeng...
Bagaimanalah ini. 😱
Rombongan 1
bus yang sudah antusias dengan pantai jadi tujuan utama, apakah harus menempuh
perjalanan sia-sia?
Bukankah untuk
mengubah haluan yang melibatkan banyak massa juga tidak bisa diputuskan sepihak
begitu saja dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya?
Komunikasi via
chat whatsapp dengan orang yang berada di daerah sana terus berlangsung hingga
akhirnya menemukan titik terang. Ingat ya, hanya sebuah titik. Yaitu tetap bisa
ke pantai tapi melalui belakang rumah warga, bukan dengan pintu masuk utama
beberapa pantai yang ada.
Sampai di
sana memang sesuai dengan kabar yang didapatkan. Ada baliho pemberitahuan
bahwa kawasan wisata pantai Trenggalek ditutup sejak tgl 19 Mei. Kemudian pintu
masuk utama pantai-pantai seperti Karanggongso, Simbaronce, Pasir Putih, dll,
ditutup dengan semacam garis pita kuning polisi. Namun ternyata setelah
melewati pintu masuk pantai yang tutup, kami menemukan keramaian yang tetap
ada, sebut saja pantai belakang rumah warga, dengan kendaraan yang terparkir di
pinggir-pinggir jalan.
Bus yang kami tumpangi sudah ada yang mengawal untuk mendapatkan tempat pemberhentian. Agak ribet karena harus cari medan putar balik agar searah jalan pulang dan tetap saja parkir di pinggir jalan (dengan mencari jalan yang lebih lebar sebagai lahan parkir darurat tentunya). Setelah bus berhenti sesuai arahan pengawal jalan, semua penumpang turun untuk menuju pantai yang paling memungkinkan sebagai tempat singgah. Dan kebetulan yang kami tuju adalah pantai di depan sebuah home stay, yang dulunya pernah jadi tempat bermalam bersama keluarga kecilku saat ke Karanggongso juga.
Karena yang didatangi
bukanlah pintu masuk pantai yang resmi, maka terbenturlah kita dengan
keterbatasan fasilitas. Untungnya warga sana juga termasuk adaptif, jadi tetap
ada rumah warga ataupun home stay yang menyediakan toilet/ kamar mandi,
persewaan tikar, hingga warung, yah, meski seadanya.
Kami menggelar tikar
di dekat pantai sembari menunaikan hak perut dengan cara ada yang bertugas riwa-riwi membeli ikan asap dan nasi (dibeli terpisah) di warung sekitar.
Rasanya mantap sekali makan di pinggir pantai. Eh. Atau mungkin itu juga karena
faktor kelaparan dan kebersamaan yang berkolaborasi kali.
Setelah perut kenyang
dan pikiran tenang, tibalah waktu untuk bersenang-senang. Pantaii, i'm
coming...
💃
Kabar gembiranya ternyata ada si kuning datang dari arah laut yg mendekat kemudian mendarat. Pembawanya menawarkan fasilitas yang sulit untuk kami tolak, karena memang sudah diidamkan sejak di perjalanan. Apa itu? Ya. Banana boat.
Aku yang tidak punya
skill berenang tentu saja ingin naik juga. Cukup dengan pengalaman 'sok pernah'nya di
pantai lain serta ketertarikan naiknya saudara-saudaraku yang lain. (Karena jika tidak
banyak yang ingin naik, aku tidak yakin tetap berani.🙊😅)
Mengawali sesuatu yang jarang disentuh memang selalu punya sensasi tersendiri ya. Itu yang kurasakan saat raga sudah dalam barisan di atas 'raksasa pisang' dengan pelampung yang terpasang.
"Ya allah kok
deg-deg ngeten rek, haha." Kata saudariku yang baru pertama kali ini naik banana
boat
Kutenangkan dengan
sahutan, "Kulo sing nate ngeten nggeh sami mawon deg-deg e. Wong siyen pon
lali rasane. Wkwk."
Entah candaan yang
kubuat untuk melipur rasa khawatirku sendiri itu bisa membuatnya tenang atau
malah tegang.
Banana boat mulai
melaju dengan ditarik kapal motor yang ada di depannya. Perlahan udara laut
meniupkan hawa sejuk yang secara tidak langsung menggantikan tegang dengan tenang. Senang pula di hati bisa menikmati
udara laut tanpa sekat yang membatasi. Hingga tiba waktunya sang guide memberi
intruksi agar tangan lepas pegangan untuk kemudian diceburkan.
"Lepaas... "
Oh, Tuhan, mendadak
hadir kembali ketegangan yang tadi kukira hilang.
Bismillah. Tenang.
Tahan napas.
Byuuurrr.
Mungkin ini definisi dari sudah tahu akan tapi tetap terkagetkan, dan sudah siap-siap namun tetap terkesiap. Dingin, panik, tersedak, asin, pengar, megap-megap.
Dududuu... Laut dan aku sepertinya belum bisa jadi pasangan yang uwuu. 😂
Itu baru ceburan yang
pertama. Masih ada 2x lagi yang mau tak mau harus diterima. Dan yah,
alhamdulillah, meski deskripsi rasaku seolah penuh derita, namun selamat dan juga senang sih akhirnya.
Rampung dari naik 'pisang raksasa' aku dan yang lainnya lanjut main air di pantai. Kami bercanda
ria hingga tiba-tiba dari arah luar terdengar suara dari toa
"Berdasarkan surat gubernur Trenggalek bahwasanya mulai tgl 19 Mei 2021 kawasan wisata pantai Trenggalek ditutup total, karena Trenggalek masih berada dalam zona oranye."
Beberapa orang
berseragam polisi mendekat menuju pantai.
"Kami imbau
kepada semua pengunjung untuk meninggalkan tempat wisata."
Orang-orang yang sedang bermain di pantai maupun sekitar pantai mulai menoleh dan menghiraukan rombongan polisi tersebut.
Waduh. Sinyal semakin bahaya
nih.
Satu persatu orang
termasuk aku mulai mentas/ naik daratan. Karena banyaknya orang yang mentas bersamaan, maka terjadilah antrean panjang kamar mandi. Dan hal tersebut bukanlah
kabar baik mengingat fasilitas yg terbatas. Sehingga mulai berhamburlah orang
mencari kamar mandi. Ada yang di home stay, masjid, atau rumah warga yang
menawarkan.
Aku kebetulan dapat kamar mandi di rumah warga sekitar yang menawarkan. Dan kabar baiknya lagi tidak ada yang mengantre, jadilah 'sobat jeding' ini bisa tenang nyaman menikmati seperti di jeding rumah sendiri. Wkwk. Ndak penting banget ya. 🙈
Seusai bersih diri, salat, dsb, kami meninggalkan lokasi saat senja menyapa dan langit sedang cantik-cantiknya. Sedikit sesal karena belum sempat 'pepotoan' di pantai mulai terganti dengan inspirasi untuk menangkap kecantikan langit senja di balik kaca. Hal tersebut bisa terlaksana dengan adanya sunset hunter partner, si adek keponakan, serta didukung laju bus yang pasti pelan karena kecuraman tikungan dan keekstriman jalan.
Dan ini sebagian
hasilnya.
Maha suci Allah dengan
segala ciptaan indah-Nya.
Jika yang tampak pada
gambar ternyata biasa itu semata karena amatirnya pemotret saja. 🙈
Rihlah kali ini memang agak berbeda. Tapi tidak mengapa. Justru bisa jadi pengalaman sekaligus cerita langka. Hiyahiyaa.
Karena yang terpenting
dari sebuah perjalanan tidak hanya sampai tidaknya di tujuan, tapi juga kembali pulang ke rumah dengan aman, lebih-lebih ada hikmah yang bisa didapatkan.
Terima kasih telah
mengikuti perjalanan kataku sampai sini.
Stay safe, stay healthy. And be happy. 😊
Di like mbtn kengeng ta niki
BalasHapus