Musholla Hujan Maghrib ~ cerpen tipis-tipis

Hari ini, 16.30 WIB. Kusenggangkan waktuku, melepas sejenak rutinitas wajib untuk menuruti kemauan tubuhku, yang sedang meminta haknya.
Sejak 3 hari yang lalu, bagian dari anggota tubuh ini sedang manja. Hidung & tenggorokan (Misal diajak ke rumah sakit ini pasti diarahkan ke poli THT, meskipun tanpa keluhan T yang awal). Mereka berdua tidak bisa melakukan tugasnya dengan baik karena ada yang sedang  mengganggunya.
Memang sebenarnya 2 bagian tubuh ini yang seringkali mengeluh dalam hidupku. Yah.. seandainya bicara tentang penelitian, pernyataan ini bisa dibuktikan dengan catatan diagnosis faskes yang biasa kukunjungi. Hahah.. tapi tentunya itu bukan ide yang menggembirakan.
Sore itu kuniatkan pergi ke Puskesmas sebagai jalan ikhtiarku untuk mendapatkan nikmat Allah berupa kesehatan. Karena aku sadar yang bisa menyembuhkan hanyalah Dia, sang maha kuasa. Sedangkan obat, dokter, dll merupakan perantara wujud pertolongan-Nya.
Terhitung sekitar 10 menit persiapan, 15 menit perjalanan dan 40 menit menunggu, akhirnya baru bisa bertemu dokter ketika adzan Maghrib berkumandang. Kusampaikan keluhan secara langsung, jelas, dan pastinya singkat (karena tak ingin menambah waktu lagi) sehingga dokter bisa menuliskan resep kemudian aku bisa segera keluar dari ruangan tersebut.
Dari ruangan pemeriksaan aku menuju ke ruang farmasi untuk menukarkan resep dengan obat. Kulihat ke luar Puskesmas karena tertarik  dengan bunyi "trataktaktaktak..". Dan ternyata bulir air hujan mulai turun dari singgasananya.
Kutaruh secarik kertas coretan dokter tadi di tempatnya dan kutanyakan pada petugas ruang farmasi dimana letak musholla di Puskesmas tersebut.
Sesuai petunjuk dari Mbak petugas farmasi, kulangkahkan kakiku menuju arah tangga untuk ke lantai dua. Ternyata yang kutemui bukan anak tangga yang bertumpuk-tumpuk, melainkan sebuah bidang miring yang merupakan aplikasi dari salah satu pesawat sederhana. Biar mudah untuk transportasi pasien dengan kursi roda maupun ranjang beroda, begitu pikirku. Hap, hap, hap, langkah menuju-Nya harus penuh semangat. 4 bidang miring dengan arah selatan-utara-selatan-utara itu akhirnya terlewati.
Sampai di lantai dua, ku menoleh ke kanan-kiri, dan sebuah ruangan kecil dengan lantai diselimuti sajadah kutemukan. Seperti biasa dengan tempat baru pasti ada pengamatan terlebih dahulu. Di depan ruangan kecil itu ada almari berisi mukena dan sarung. Kemudian di sebelahnya ada 3 kran air.  Fix ini pasti musholla, simpulku.
Di sebelah musholla ada ruangan dengan tirai yang berkibar-kibar karena saat itu kondisi sedang hujan angin. Sebelahnya lagi ada ruangan tertutup dengan pintu tertulis "Selain petugas dilarang masuk". Aku jadi berpikir aku petugas bukan ya, hahah.. Sebenarnya ada sudut hati yang kecewa dengan kenyataan tersebut, bukan karena menyesali bahwa aku bukanlah petugas, tetapi kamar mandi adalah sesuatu yang kuharapkan ketika akan melakukan rukun Islam kedua ini, dan harapan tersebut berbanding terbalik dengan kenyataan.
Kuambil air wudhu di kran air, mengambil mukena kemudian melaksanakan shalat 3 rakaat. Sampai aku selesai shalat, musholla itu hanya ditempati aku, diriku dan ragaku. Fenomenal. Setahuku tempat shalat biasanya paling favorit dijamah ketika waktu Maghrib. Bagaimana kondisinya waktu Subuh di tempat ini? Ah, mungkin orang-orang di tempat ini sudah menyisakan bilik kecil atau sudah menggelar sajadah di masing-masing ruangannya untuk menunaikan kewajibannya.
Kukembalikan mukena ke tempatnya kemudian turun dan menuju ke ruang farmasi untuk mengambil obat. Selang beberapa menit obat sudah kudapat, namun aku harus menunggu lagi. Yah. Langit masih menikmati tangisannya setelah beberapa hari, minggu, bahkan bulan yang lalu selalu menampakkan terik matahari yang menjadi-jadi.
Sekitar 600 detik ku menunggu, suara hujan mulai mereda, "tritiktiktiktik..". Kuputuskan untuk pulang, karena ada khawatir kuadrat (khawatir Ummi mengkhawatirkanku) yang singgah di hati.
Benar sampai rumah Ummi memang sudah menungguku, tampak kelegaan dengan kemunculanku meskipun yang lebih diungkapkan adalah rasa kekhawatirannya.
Beberapa saat setelah pulang ada kakakku yang setiap harinya kerja di Puskesmas yang kukunjungi. Seperti biasa terjadi ocehan panjang lebar mengenai apa saja yang kulakukan sampai dengan peristiwa shalat Maghrib.
Kakakku bertanya dengan kagetnya, "hah. Pean shalat di musholla lantai dua?". "Hehe.. nggeh nopo o? Lah terose musholla e ten mriku eh", kilahku dengan entengnya. Tanpa menjelaskan secara detail, ekspresi wajah dan tubuh sudah menggambarkan bagaimana respon negatif terhadap tempat itu. Intinya horor lah. Hihi.
"Pinggir e niku nopo sing enten selambu e?". "Jemuran". "Oh kulo kinten gudang wau selambu e makane kok miber-miber keterak angin tak intip enten barang-barang kados mboten kangge ngoten".  Kakakku bergidik ngeri, "ish...". Aku hanya bisa tertawa sumbang.
Terlepas dari benar atau tidaknya misteri dari musholla lantai dua itu, yang penting itu sudah terjadi.
Tapi kalau menurutku ya tidak usah terlalu takut dengan hal-hal seperti itu, ingat saja kalau punya Allah yang maha segalanya. Jangan sampai karena hal sepele jadi trauma ga mau shalat. Hohoo.. ga sampai kan ya! Naudzubillah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teks Sholawat Al Banjari